Para pengembang di negeri tercinta ini tidak perlu mengepigon Makao, atau Hongkong, atau Jepang, atau Amerika Serikat. Hal penting yang harus dilakukan ialah pengusaha properti berusaha mengetengahkan gagasan-gagasan orisinal untuk merebut hati pembeli. Gagasan-gagasan tersebut bisa lahir dari para “pemain yang berpengalaman”, dan yang beritikad baik menghasilkan karya besar.
Beberapa pemain properti mungkin lupa bahwa dengan berkarya dan bekerja tuntas, akan lahir karya yang membuat publik dunia tercengang. Ketercengangan itu pada gilirannya akan membuat reputasi mereka melambung, produknya laris manis di pasar, dan dunia bisnis menyambutnya dengan tangan terbuka.
-dikutip dari kolom kiat bisnis oleh Abun Sanda, Kompas 30 Juni 2009-
Dua alinea paragraf di atas sempat membuat saya merenung sejenak, yang kemudian dari “renungan sejenak” itu terangkum bertahun-tahun ke masa lalu sampai saat saya menulis sekarang ini. Sejenak yang menggambarkan peristiwa yang merujuk keadaan saya seperti saat sekarang ini, belajar memahari apa itu “desain interior”, setelah melewati waktu-waktu di pulau-pulau seberang yang berbatasan dengan negeri tetangga untuk belajar sedikit mengenai struktur dan pre cast.
Para “pemain yang berpengalaman” pada paragraf pertama saya anggap sebagai arsitek. Dalam kolom di kompas tersebut diterangkan bahwa Tom Wright dari Inggris (salah seorang arsitek terbaik dunia) menunjukkan bagaimana menggambar gedung opera Sydney yang merebut kekaguman dunia, dan gambar selesai dalam waktu enam setengah detik, dan dahsyatnya gambar itu amat indah. Tom juga menunjukkan bagaimana menggambar karya besarnya, Burj Al Arab di Dubai dalam goresan tangan yang tidak lebih dari 10 detik. Goresan dengan rentang waktu yang sama ia hasilkan ketika menggambar Regatta di Pantai Jakarta. Tom berkata bahwa arsitek perlu lebih rileks dalam menghasilkan karya besar dan karya besar itu tidak pernah lahir dari pikiran rumit. Ia lahir dari goresan tangan dan pikiran yang rileks.
Kata-kata itulah yang membuat saya menerawang jauh ke masa lalu dimana beberapa karya saya –yang menurut saya adalah karya besar saya- terwujud melalui goresan tangan dan pikiran yang tertekan, stress, frustasi, dan bisa dipastikan tingkat ke-rileks-an nya berkisar antara 0 sampai 1,76 %. Siapa yang menekan dan membuat saya stress??? Jawabannya adalah waktu. Ya..waktu yang semakin sempit yang diberikan oleh dosen/klien/owner memapah “deadline” sedikit demi sedikit menuju ke hadapan saya. Ketika si “deadline” waktu tersebut tiba-tiba sudah ada di depan mata, tiba-tiba, dengan terpaksa, dan anehnya waktu yang dibutuhkan juga sesingkat sketsa Tom Wright, saya terbayangkan beratus-ratus ide tentang konsep desain yang akan saya buat. Yang selama ini saya cari-cari dan berpikir keras untuk menemukannya.
Tidak jauh berbeda memang waktu yang dibutuhkan untuk membuat karya-karya itu, tapi dasar atau dukungan yang mendorong untuk melahirkan karya tersebut ternyata berbanding terbalik. Tom Wright dengan rileks dan saya dengan stress yang amat sangat. Teringat lagi waktu masa-masa kuliah dulu berbagai tugas baik perancangan arsitektur ataupun tugas-tugas yang lain juga terwujud dalam waktu yang sangat singkat. Kadang tugas dengan deadline waktu sampai enam bulan, saya kerjakan hanya dalam satu hari. Satu hari itu tenyata juga hari terakhir dalam rentan waktu deadline tersebut. Dipikir-pikir ternyata luar biasa juga, walaupun banyak kesalahan disana-sini, revisi dimana-mana, amburadul pokoknya. Tapi intinya “ide desain” yang lahir tersebut tertangkap dalam waktu yang relatif singkat.
Teringat beberapa waktu yang lalu ketika saya mengikuti penataran strata IV dan VI IAI Banten, Mr. Syarief R. S. SIA, associate director DP Architect Singapore, menjelaskan bahwa karya-karya arsitek bangsa ini tidak kalah dengan karya arsitek dari luar negeri ini. Bahkan jika disejajarkan, “beberapa” karya arsitek indonesia lebih unggul daripada negeri-negeri seberang. Kita sebenarnya mampu, kita punya potensi, tinggal bagaimana kita menggalinya, mengambilnya, dan menunjukkan potensi kita ke ajang pergulatan arsitektur.
Di lain waktu penataran, Achmad Noerzaman, Presiden Direktur PT. Arkonin juga menegaskan bahwa saya, kita, para arsitek anak bangsa harus lebih percaya diri, harus selalu meningkatkan diri, selalu belajar untuk menjadi yang terbaik. Butuh proses yang panjang memang untuk sampai ke dalam tahap tersebut, tapi pastinya, dan saya percaya kalau saat tersebut tiba kepuasan hati dan pikiran menjadikan perjuangan kita selama proses itu akan benar-benar terbayarkan. Adi Moersid, IAI, owner&principal architect PT Atelier 6, menambahkan bahwa kita sebagai arsitek harus selalu berpikir, proses mendesain tidak terbatas dari waktu jam 8 pagi sampai jam 5 sore, tetapi berlanjut terus menerus secara kontinyu untuk menghasilkan sebuah karya yang “paling” sempurna. Saya sendiri menambahkan jangan lupakan keluarga dan orang–orang terdekat ketika kita sedang dalam proses tersebut.
Saat Adi Moersid, yang juga Ketua Dewan Kehormatan Nasional IAI, memberikan pelajaran kepada saya dan teman-teman mengenai penyelesaian studi kasus tentang kode etik & tata laku profesi arsitek, saya jadi jauh lebih mengerti tentang jati diri seorang arsitek. Baru kulit luarnya memang saya memahami apa itu arsitek dan karya arsitektur, tapi permulaan itu adalah “start” awal saya untuk memulai proses pembelajaran yang panjang itu. Akhir kalimat, kita sebagai arsitek indonesia, teruslah berkarya!!!, belajar!!!, dan tetap percaya diri!!!.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar